
Pandemi korona
tak menyurutkan usaha Batik Silabi, SLB Wiyata Dharma Metro. Srikandi Batik
Silabi memberdayakan alumni untuk melakukan produksi.
Dari sebuah
gang sempit tak jauh dari jalan raya. Siang
itu, Jumat (13/08), suasana Sekolah Luar Biasa yang
letaknya hanya "bertetangga" dari Kantor
Kelurahan Hadimulyo Timur itu sepi. Beberapa
sepeda motor terpajang rapi di sisi sebelah dalam lapangan sekolah beralaskan
petak-petak semen persegi enam.
Ada seorang
wanita paruh baya “terbit” dari balik pintu asrama. Raut wajahnya menyiratkan
aroma keheranan dengan kedatangan saya secara tiba-tiba di siang bolong.
Setelah saya mengutarakan niat hati ingin bersua dengan pengurus sekolah,
langkahnya langsung tergopoh-gopoh menuju area dapur pembuatan batik.
“Ada
keperluan apa ya, Mba?” ujar seorang berkerudung
abu-abu. Tanpa aba-aba, secarik surat
tugas dari sekolah langsung saya perlihatkan.
“Ayo, ikuti saya ke dapur pembuatan
batik, akan saya
kenalkan dengan beberapa teman saya,”
sahut perempuan yang bernama Titin Susanti. Saya menganga tak percaya, ternyata
mendapatkan izin wawancara di sekolah penyandang disabilitas ini terbilang
cukup mudah.
Sepi,
pemandangan itu menyelimuti area dapur
batik. Tak satupun pekerja terpampang di depan
mata. Hanya ada kawanan pipa paralon yang berfungsi untuk membentangkan kain
batik. Ibu Titin terus berjalan melewati area
pembentangan kain. Selepas retina saya
menjelajah area pembentangan kain, sampailah kami di dapur pencelupan dan
pewarnaan.
Satu,
dua, tiga...cekrek, seorang wanita yang sedang mencelup-celupkan kain ke bahan
pewarna terpotret kamera handphone saya.
“Saya sangat senang jika difoto” ujar ibu Dwi Wahyuni—teman dari ibu Titin
Susanti, sekaligus instruktur batik di SLB Wiyata Dharma—dengan perasaan berbunga-bunga.
Meski serius melakukan pekerjaannya, sikapnya sangat hangat dan ramah terhadap
tamu seperti saya.
***
Sudah
dua tahun lebih wabah korona “menghantui” wilayah Indonesia, terkhusus di Kota
Metro. Usaha kecil menengah terpaksa porak poranda akibat kekurangan konsumen,
biaya dan tenaga pekerja. Dampak itu juga dirasakan oleh usaha Batik Silabi
milik yayasan SLB Wiyata Dharma yang sudah dirintis sejak tahun 2012 ini.
Semenjak
korona melanda, tenaga pekerja—yang sebagian
besar merupakan murid SLB Wiyata Dharma ini—bak
menghilang ditelan bumi karena diliburkan. “Untuk permintaan pasar kita
kekurangan tenaga, Mba. Karena yang bekerja itu biasanya anak murid, sedangkan
kalau daring nggak boleh masuk,” terang ibu Dwi Wahyuni sembari mengikat tali
pada kain untuk pewarnaan dengan teknik ikat. “Kita cuma merekrut alumni,
ibu-ibu PKK,” imbuh ibu Titin Susanti.
Berbicara mengenai
peminat Batik Silabi. Ibu
Titin Susanti berkisah bahwa di masa pandemi peminat batik khas Kota Metro ini
tetap banyak. Berbanding
terbalik dengan itu, peminat souvenir menurun
drastis sebab kunjungan dari luar daerah yang biasanya “deras” kini menjadi
“kering” kerontang. “Untuk di masa pandemi ini peminat kain batik tetap
banyak, Mba. Tapi kalau souvenir masih
ada penjualan, sekarang berkurang karena nggak
ada tamu dari luar daerah,” ujarnya.
***
Mari kita mengulik
sejarah terciptanya Batik Silabi. Ternyata
batik ini merupakan modifikasi dari batik tulis yang lumrah digunakan, kemudian
dikombinasikan dengan teknik batik ciprat yang nge-trend di kota lumpia, Semarang. “Setelah diterapkan ke anak-anak,
batik tulis memerlukan waktu yang lama, sehingga sekolah mencari terobosan baru
dan mengutus ibu Tri Winarsih—instruktur batik di SLB Wiyata Dharma Metro—untuk
belajar ke Semarang”. Untuk di Kota Semarang sendiri murni menggunakan batik
ciprat. Sedang di Kota Metro ini
teknik membatik mulai divariasikan dari batik tulis, ciprat dan ikat. Sehingga
tercipta Batik Silabi Metro yang ikonik dengan menampilkan ikon-ikon khas
Lampung terkhusus Kota Metro seperti Tugu Meterm.
Batik
Silabi sendiri merupakan batik unggulan Kota Metro dan dijadikan sebagai bahan
wajib bagi seragam ASN Kota Metro. Rupanya, pihak Batik Silabi SLB Wiyata
Dharma sudah mempunyai kerja sama atau MOU dengan Pemerintah Daerah Kota Metro. Lebih dari
itu, Batik Silabi ternyata sudah
diakui oleh Direktorat Jenderal Kekayaan Negara sebagai kearifan lokal Kota
Metro yang humanis.
***
Keberadaan
Batik Silabi seolah menjadi angin segar dalam lautan stigma yang beredar di
masyarakat bahwa penyandang disabilitas tak mampu menciptakan kreativitas tanpa
batas. Kesabaran srikandi Batik
Silabi dalam mengajari muridnya sampai paham merupakan bukti nyata bahwa asal
ada kemauan di situ ada jalan untuk menuai kesuksesan.
Saat
membimbing anak penyandang disabilitas ini, ternyata para instruktur membagi
bidang kerja sesuai dengan kemampuan “menangkap” yang mereka miliki. Untuk anak
tunarungu, mereka mempunyai IQ sama seperti manusia pada umumnya sehingga
mereka dijatah melakukan pekerjaan yang lebih rumit dari penyandang tunagrahita
(lambat berfikir).
Anak
tunarungu biasa melakukan bagian pewarnaan dan memola kain batik sedangkan bagi
tuna grahita cukup diberi bagian yang ringan seperti melakukan pemasangan dan
pelepasan kain batik pada pipa paralon. “Mereka juga sangat antusias untuk
belajar, Mba. Di SLB ini juga 60 persen di keterampilan kurikulumnya, jadi
sebenarnya niat awal ya untuk keterampilan. Ternyata Pemerintah Kota Metro
antusias juga menjadikan batik kita ini batik unggulan,” ujar ibu Titin
Susanti.
Untuk
hasil penjualan Batik Silabi sendiri, sebagian dialokasikan untuk operasional
sekolah, sebagian lagi untuk diberikan ke yayasan Wiyata Dharma. Mengenai
keuntungan penjualan, tak seperti ekspektasi kebanyakan orang awam yang
menganggap bahwa sekolah meraup untung berlebih, ibu Titin Susanti menjelaskan
keadaan sebenarnya. “Kadang-kadang pengerjaan malah nggak dapet untung, Mba,
yang penting kita semuanya terbayar, seperti bahan, pewarna, gaji,” ujarnya.
Ternyata
keuntungan dan pengorbanan di tempat ini bagai langit dan bumi. Setiap
pengerjaan pesanan pastilah menanggung resiko yang harus diterima dengan lapang
dada. “Untuk pesanan 100, orang lain ngebayanginnya pasti untung sekian juta,
padahal kan nggak seperti itu”. Kegagalan pengerjaan menjadi hal lumrah,
“anak-anak disuruh buka kain pelan-pelan, namun tetap digeret, akhirnya sobek.
Pada saat waterglass warnanya bercampur,”
kisah ibu Titin Susanti. Perubahan cuaca juga sangat berpengaruh terhadap
keberhasilan maupun kegagalan pembuatan kain.
Tanpa sadar adzan zuhur telah berkumandang, pertanda
kewajiban pada tuhan harus segera ditunaikan. Isyarat ini juga menandakan
perjamuan saya dengan srikandi Batik Silabi ini harus berakhir. Begitu banyak
pembelajaran yang saya dapat tentang semangat, pengorbanan, serta ketulusan
hati seluas samudera.